Beritatruk – Pengusaha trucking di sejumlah daerah mulai kesulitan mendapatkan solar bersubsidi, menyusul menipisnya kuota bahan bakar itu sehingga pasokannya dibatasi.
Akibatnya, produktivitas trucking kian merosot karena harus mengantre lebih lama di SPBU untuk mendapatkan solar subsidi atau terpaksa membeli bahan bakar itu dengan harga lebih mahal di luar SPBU.
Ketua Umum Aptrindo Gemilang Tarigan mengungkapkan, solar subsidi sudah mengalami kelangkaan sejak beberapa waktu lalu di sejumlah daerah, seperti Sumatera dan Kalimantan. Kelangkaan ini menimbulkan ketidakpastian berusaha dan mengganggu angkutan logistik, selain menyebabkan biaya operasi truk bengkak.
“Kami meminta pemerintah memastikan ketersediaan solar subsidi. Bagi kami, lebih baik subsidinya dicabut saja daripada kami susah mendapatkan bahan bakar itu. Operator truk siap menggunakan solar industri selama ada kepastian pasokan,” tegasnya dalam diskusi yang diselenggarakan Aptrindo dan Jakarta Transportasi Forum (JTF) di Jakarta, Jumat (19/7/2019).
Penegasan itu disampaikan Aptrindo menanggapi usulan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) untuk membatasi JBT solar subsidi terhadap truk barang dengan roda lebih dari 6 menyusul potensi over kuota penggunaan BBM jenis itu.
Usulan itu disampaikan BPH Migas dalam rapat bersama stakeholders terkait, antara lain Aptrindo, PT Pertamina (Persero), PT AKR Corporindo Tbk, dan DPP Hiswana Migas pada pekan ini.
BPH Migas mengungkapkan, kuota solar subsidi pada tahun ini hanya cukup untuk pemakaian sampai dengan Oktober mendatang atau hanya cukup untuk tiga bulan ke depan.
Pembatasan penggunaan solar subsidi dinilai mendesak, sehingga BPH Migas akan menyurati Pertamina untuk menerapkan batasan pendistribusian kepada pengguna solar subsidi, maksimum 200 liter per transaksi per hari.
Gemilang menegaskan Aptrindo secara langsung menolak usulan BPH Migas itu dalam rapat tersebut dan lebih memilih menggunakan solar industri daripada solar subsidi dibatasi tanpa kepastian pasokan.
Apalagi, menurut dia, perusahaan truk selama ini tidak menikmati subsidi solar sebab tarif angkutan barang selalu mengacu pada harga BBM yang berlaku. Subsidi itu dinikmati oleh pengguna jasa truk, pedagang, dan konsumen.
Dia menduga kelangkaan solar subsidi saat ini dipicu semakin lebarnya disparitas harga dengan solar industri seiring dengan kenaikan harga minyak mentah. Menurut dia, subsidi BBM tanpa disertai pengawasan yang ketat bisa menimbulkan terjadinya penyelewengan sehingga lebih baik dihapus.
Ganggu Logistik
Wakil Ketua Umum DPP Aptrindo Kyatmaja Lookman menambahkan, pembatasan pasokan solar subsidi pasti akan mengganggu layanan logistik, yang pada akhirnya memukul perekonomian nasional. Pasalnya, transportasi Indonesia sangat bergantung pada angkutan darat.
Saat ini, paparnya, terdapat sekitar 7,5 juta truk berbagai jenis di seluruh Indonesia, dimana 30% di antaranya atau sekitar 2,5 juta unit merupakan truk lebih dari 6 roda. Tangki BBM truk kategori ini rata-rata bisa menampung 100-200 liter.
“Kalau pasokan BBM-nya dibatasi pasti akan mengganggu operasional. Saat ini saja sudah terjadi kelangkaan di sejumlah daerah sehingga pengusaha truk cemas, seperti di Balikpapan dan Bengkulu,” ujar Kyatmaja.
Dia mengakui pencabutan subsidi akan berdampak terhadap tarif angkut meskipun sebenarnya tidak terlalu besar. Menurut dia, biaya bahan bakar berkisar 30%-40% dari tarif angkutan, bergantung pada jenis barang yang diangkut.
Apabila harga BBM naik 5% maka tarif angkutan sebenarnya hanya akan naik 1,5%-2%. Masalahnya, kenaikan tarif transportasi bisa memicu spekulasi sehingga kenaikan harga barang bisa lebih tinggi.
Menurut Kyatmaja, tarif trucking di Indonesia sebenarnya sangat murah dibandingkan negara lain. Sebagai contoh, tarif trucking rute Jakarta–Karawang saat ini rata-rata Rp1,8 juta/boks peti kemas 20 kaki. Di Korea dan Belanda, dengan jarak yang sama, tarifnya masing-masing sekitar Rp3 juta/boks dan Rp4 juta/boks.
Dia mengatakan, kelangkaan bahan bakar akan mengakibatkan produktivitas trucking semakin merosot. Saat ini saja, di DKI Jakarta, trip angkutan truk tinggal separuh dari sebelumnya mencapai 25 trip.
Kondisi ini bukan hanya disebabkan masalah BBM, melainkan hambatan antrean di berbagai lini, seperti di jalan, pelabuhan, bongkar muat, dan lainnya. “Usaha trucking ibarat sedang mengalami penyumbatan pembuluh darah dan tiba-tiba bisa kena stoke akibat banyaknya ketidakpastian,” ungkapnya.
Potensi Over Kuota
Berdasarkan data BPH Migas, kuota JBT jenis minyak solar tahun ini secara nasional sebesar 14,5 juta KL (dicadangkan 500.000 KL), adapun realisasi Januari-31 Mei 2019 mencapai 6,4 juta KL atau sebesar 45,73% dari kuota penetapan.
Berdasarkan realisasi tersebut (dimana realisasi seharusnya 41% dari kuota penetapan), apabila tidak dilakukan pengendalian pendistribusian BBM tersebut maka berpotensi terjadi over kuota tahun 2019.
Jika hal ini tidak diantisipasi, BPH Migas menyatakan akan ada 498 kabupaten/kota yang berpotensi over kuota solar subsidi pada 2019, dan 16 kabupaten/kota yang under kuota JBT solar pada tahun ini.
Bahkan berdasarkan realisasi harian, maka diprognosakan bahwa kuota JBT sebesar 14.500.000 KL akan habis tersalurkan pada 8 Desember 2019, dengan kata lain 23 hari di akhir tahun ini tidak tersedia lagi JBT jenis minyak solar.
Adapun, prognosa realisasi hingga Desember 2019 sebesar 15.474.211 KL (diperlukan penghematan sebesar 974,211 KL) sehingga tidak terjadi over kuota solar subsidi pada 2019. (hl)